Menunggu Kemegahan Jembatan Selat Sunda
Kapal-kapal terbesar di dunia saat ini kelak bisa berlayar tanpa gangguan di bawah JSS.
Rencana ambisius pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) telah dipublikasikan. Proyek yang diperkirakan menelan biaya konstruksi sekitar Rp 100 triliun itu, akan menggunakan teknologi jembatan teranyar yang baru digunakan di Shanghai, Cina.
Prastudi kelayakan jembatan yang dilakukan PT Bangungraha Sejahtera Mulia (BSM), menyebutkan bahwa konstruksi jembatan akan menggunakan teknologi generasi ketiga. Sebuah teknologi dengan konstruksi penampang jembatan paling ringan.Menurut Direktur PT Bangungraha Sejahtera Mulia, Agung R Prabowo, teknologi tersebut memungkinkan jarak antartiang jembatan atau spanlenghth lebih dari 2.000 meter. Jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra ini juga dirancang memiliki panjang 29 km.
Agung mengungkapkan, jembatan ini terdiri atas lima bagian. Dua jembatan gantung ultra panjang dengan jarak antartiang 3,5 km dan 2 km serta 108 jembatan dengan rentang lebih pendek. Jembatan ultra panjang ini sangat dibutuhkan.Sebab, untuk melintasi Selat Sunda, terdapat dua palung berkedalaman 135 dan 115 meter. ''Jadi, tiang-tiang antarjembatan harus diletakkan sebelum memasuki daerah palung laut tersebut,'' kata Agung di Jakarta, belum lama ini.
Artinya, diperlukan rentang antartiang jembatan yang lebih panjang. Menurut Agung, tinggi pilon jembatan gantung ultra panjang sekitar 310 meter di atas muka air rata-rata dan akan terbuat dari baja bermutu tinggi.Ruang bebas vertikal di tengah bentang jembatan ultra panjang sekitar 81 meter. Artinya, jelas Agung, kapal-kapal terbesar di dunia saat ini, seperti USS Enterprise dan Queen Mary-2, masih dapat berlayar tanpa gangguan di bawah JSS.
Agung menambahkan, untuk melintasi perairan yang kedalamannya relatif dangkal, pihaknya menggunakan serangkaian jembatan kantilever seimbang dengan rentang antartiang 200 meter.
Agung, yang terlibat dalam pembuatan prastudi kelayakan JSS, menambahkan, teknologi jembatan kantilever seimbang digunakan dengan rentang antartiang lebih pendek, yaitu 80 meter. Ini digunakan pada jembatan Surabaya-Madura (Suramadu). ''Karena kita mau membuat jembatan dengan rentang lebih panjang, otomatis teknologi konstruksinya harus yang ringan. Makanya, dalam rancangan jembatan yang akan kami bangun digunakan teknologi generasi ketiga,'' ujar Agung.
Jembatan yang telah dibangun dengan menggunakan jembatan gantung ultra panjang adalah Jembatan Xihoumen, yang menghubungkan beberapa pulau di selatan Shanghai, Cina. Jembatan tersebut memiliki rentang antartiang 1.650 meter. Cina, bisa dibilang sangat berpengalaman dalam membangun jembatan berskala besar. Dalam setahun, Cina bisa membangun 100-150 jembatan mengandalkan kemampuan sendiri. ''Saya yakin, jika ada political will yang kuat, kita juga bisa,'' kata Agung. n wulan tunjung palupi
Dari Generasi ke Generasi
Generasi Pertama
Pada jembatan yang menggunakan teknologi generasi pertama atau disebut juga jembatan suspensi konvensional, rentang antartiang hanya mampu di bawah 2.000 meter. Pembangunan jembatan yang dititikberatkan pada beban gravitasi dan beban angin pada jembatan dianggap tidak signifikan.Kekakuan geometris generasi pertama juga memengaruhi panjangnya rentang jembatan. Contohnya adalah Jembatan Golden Gate (1937) dan Jembatan Verrazano Narrows (1964). Batas ini diwakili oleh Akashi Kaikyo Bridge di Jepang (1998) dengan rentang antartiang 1.991 meter.
Generasi Kedua
Agar bisa mencapai rentang lebih panjang, otomatis desain jembatan harus dibuat lebih ringan. Pada jembatan generasi kedua, penampang jembatan telah berusaha dirancang sedemikian rupa dan lebih aerodinamis agar lebih ringan dan tahan terhadap terpaan angin. Untuk memberikan jawaban atas masalah ketebalan dek penampang dan terpaan angin, konsep generasi kedua telah diperkenalkan menggunakan penampang berbentuk satu kotak tertutup, bentuk dek yang terdiri atas panel baja kaku.
Adapun perilaku seismik generasi kedua ini relatif fleksibel. Maka, dek jembatan hanya akan mengalami reaksi ringan jika terjadi gempa. Contoh awal generasi kedua ini adalah Jembatan Severn (1966) dengan rentang antartiang 988 meter dan Humber dengan rentang antartiang 1.410 meter. Namun, jembatan generasi kedua ini belum bisa memiliki rentang antartiang lebih dari 2.000 meter. The Great Belt-East Bridge (1998) dengan rentang 1.624 meter mewakili generasi kedua jembatan gantung, yang telah hampir mencapai batas maksimum rentang yang dimungkinkan.
Generasi Ketiga
Pada generasi ketiga, dek jembatan dipertahankan tidak terlalu tebal dengan konstruksi yang bisa dilalui angin sehingga lebih ringan dan tahan terpaan angin. Pada generasi ini, fleksibilitas jembatan yang relatif tinggi akan bertindak sebagai dasar isolator.Ini mencegah lebih lanjut propagasi atau perambatan gelombang seismik sehingga dek jembatan masih relatif tenang meski terjadi getaran. Jembatan Selat Messina di Italia, yang belum mulai dibangun, merupakan contoh pertama dari jembatan generasi ketiga.
Rentang utama jembatan tersebut memiliki panjang 3.300 meter. Pada teknologi generasi ketiga boks penampang dibuat lebih mudah mengakomodasi terpaan angin. Konstruksi lebih ringan, namun tahan angin, yang memungkinan rentang antartiang menjadi lebih panjang. Jembatan Xihoumen yang memiliki rentang 1.650 meter dibangun pada 2004 dan selesai pada 2009. Direktur PT Bangungraha Sejahtera Mulia, Agung R Prabowo, dalam prastudi kelayakan, JSS yang menggunakan teknologi generasi ketiga, disebutkan mengenai berbagai aspek alam.
Seperti lokasi jembatan yang berdekatan dengan Anak Krakatau serta merupakan wilayah yang rawan gempa telah diantisipasi. ''Meskipun kalau letusan Krakatau yang terjadi pada 1883 itu terjadi lagi sekarang, konstruksi apa pun tidak akan tahan,'' katanya. Namun, dengan perhitungan aktivitas anak Krakatau dan estimasi aktivitasnya, kata Agung, kondisi ini masih bisa dikelola. Hal yang pasti, banyak pekerjaan rumah menumpuk untuk mewujudkan proyek yang sudah didengungkan sejak 20 tahun silam ini.
Agung menyatakan, kesiapan industri baja dan semen dalam negeri yang merupakan material utama pembentuk jembatan harus sudah mulai dibangun. Kesiapan sumber daya manusia, antisipasi dampak sosial, dan budaya serta berbagai aspek lain pun harus mulai dipikirkan. una
Kapal-kapal terbesar di dunia saat ini kelak bisa berlayar tanpa gangguan di bawah JSS.
Rencana ambisius pembangunan Jembatan Selat Sunda (JSS) telah dipublikasikan. Proyek yang diperkirakan menelan biaya konstruksi sekitar Rp 100 triliun itu, akan menggunakan teknologi jembatan teranyar yang baru digunakan di Shanghai, Cina.
Prastudi kelayakan jembatan yang dilakukan PT Bangungraha Sejahtera Mulia (BSM), menyebutkan bahwa konstruksi jembatan akan menggunakan teknologi generasi ketiga. Sebuah teknologi dengan konstruksi penampang jembatan paling ringan.Menurut Direktur PT Bangungraha Sejahtera Mulia, Agung R Prabowo, teknologi tersebut memungkinkan jarak antartiang jembatan atau spanlenghth lebih dari 2.000 meter. Jembatan yang menghubungkan Pulau Jawa dan Sumatra ini juga dirancang memiliki panjang 29 km.
Agung mengungkapkan, jembatan ini terdiri atas lima bagian. Dua jembatan gantung ultra panjang dengan jarak antartiang 3,5 km dan 2 km serta 108 jembatan dengan rentang lebih pendek. Jembatan ultra panjang ini sangat dibutuhkan.Sebab, untuk melintasi Selat Sunda, terdapat dua palung berkedalaman 135 dan 115 meter. ''Jadi, tiang-tiang antarjembatan harus diletakkan sebelum memasuki daerah palung laut tersebut,'' kata Agung di Jakarta, belum lama ini.
Artinya, diperlukan rentang antartiang jembatan yang lebih panjang. Menurut Agung, tinggi pilon jembatan gantung ultra panjang sekitar 310 meter di atas muka air rata-rata dan akan terbuat dari baja bermutu tinggi.Ruang bebas vertikal di tengah bentang jembatan ultra panjang sekitar 81 meter. Artinya, jelas Agung, kapal-kapal terbesar di dunia saat ini, seperti USS Enterprise dan Queen Mary-2, masih dapat berlayar tanpa gangguan di bawah JSS.
Agung menambahkan, untuk melintasi perairan yang kedalamannya relatif dangkal, pihaknya menggunakan serangkaian jembatan kantilever seimbang dengan rentang antartiang 200 meter.
Agung, yang terlibat dalam pembuatan prastudi kelayakan JSS, menambahkan, teknologi jembatan kantilever seimbang digunakan dengan rentang antartiang lebih pendek, yaitu 80 meter. Ini digunakan pada jembatan Surabaya-Madura (Suramadu). ''Karena kita mau membuat jembatan dengan rentang lebih panjang, otomatis teknologi konstruksinya harus yang ringan. Makanya, dalam rancangan jembatan yang akan kami bangun digunakan teknologi generasi ketiga,'' ujar Agung.
Jembatan yang telah dibangun dengan menggunakan jembatan gantung ultra panjang adalah Jembatan Xihoumen, yang menghubungkan beberapa pulau di selatan Shanghai, Cina. Jembatan tersebut memiliki rentang antartiang 1.650 meter. Cina, bisa dibilang sangat berpengalaman dalam membangun jembatan berskala besar. Dalam setahun, Cina bisa membangun 100-150 jembatan mengandalkan kemampuan sendiri. ''Saya yakin, jika ada political will yang kuat, kita juga bisa,'' kata Agung. n wulan tunjung palupi
Dari Generasi ke Generasi
Generasi Pertama
Pada jembatan yang menggunakan teknologi generasi pertama atau disebut juga jembatan suspensi konvensional, rentang antartiang hanya mampu di bawah 2.000 meter. Pembangunan jembatan yang dititikberatkan pada beban gravitasi dan beban angin pada jembatan dianggap tidak signifikan.Kekakuan geometris generasi pertama juga memengaruhi panjangnya rentang jembatan. Contohnya adalah Jembatan Golden Gate (1937) dan Jembatan Verrazano Narrows (1964). Batas ini diwakili oleh Akashi Kaikyo Bridge di Jepang (1998) dengan rentang antartiang 1.991 meter.
Generasi Kedua
Agar bisa mencapai rentang lebih panjang, otomatis desain jembatan harus dibuat lebih ringan. Pada jembatan generasi kedua, penampang jembatan telah berusaha dirancang sedemikian rupa dan lebih aerodinamis agar lebih ringan dan tahan terhadap terpaan angin. Untuk memberikan jawaban atas masalah ketebalan dek penampang dan terpaan angin, konsep generasi kedua telah diperkenalkan menggunakan penampang berbentuk satu kotak tertutup, bentuk dek yang terdiri atas panel baja kaku.
Adapun perilaku seismik generasi kedua ini relatif fleksibel. Maka, dek jembatan hanya akan mengalami reaksi ringan jika terjadi gempa. Contoh awal generasi kedua ini adalah Jembatan Severn (1966) dengan rentang antartiang 988 meter dan Humber dengan rentang antartiang 1.410 meter. Namun, jembatan generasi kedua ini belum bisa memiliki rentang antartiang lebih dari 2.000 meter. The Great Belt-East Bridge (1998) dengan rentang 1.624 meter mewakili generasi kedua jembatan gantung, yang telah hampir mencapai batas maksimum rentang yang dimungkinkan.
Generasi Ketiga
Pada generasi ketiga, dek jembatan dipertahankan tidak terlalu tebal dengan konstruksi yang bisa dilalui angin sehingga lebih ringan dan tahan terpaan angin. Pada generasi ini, fleksibilitas jembatan yang relatif tinggi akan bertindak sebagai dasar isolator.Ini mencegah lebih lanjut propagasi atau perambatan gelombang seismik sehingga dek jembatan masih relatif tenang meski terjadi getaran. Jembatan Selat Messina di Italia, yang belum mulai dibangun, merupakan contoh pertama dari jembatan generasi ketiga.
Rentang utama jembatan tersebut memiliki panjang 3.300 meter. Pada teknologi generasi ketiga boks penampang dibuat lebih mudah mengakomodasi terpaan angin. Konstruksi lebih ringan, namun tahan angin, yang memungkinan rentang antartiang menjadi lebih panjang. Jembatan Xihoumen yang memiliki rentang 1.650 meter dibangun pada 2004 dan selesai pada 2009. Direktur PT Bangungraha Sejahtera Mulia, Agung R Prabowo, dalam prastudi kelayakan, JSS yang menggunakan teknologi generasi ketiga, disebutkan mengenai berbagai aspek alam.
Seperti lokasi jembatan yang berdekatan dengan Anak Krakatau serta merupakan wilayah yang rawan gempa telah diantisipasi. ''Meskipun kalau letusan Krakatau yang terjadi pada 1883 itu terjadi lagi sekarang, konstruksi apa pun tidak akan tahan,'' katanya. Namun, dengan perhitungan aktivitas anak Krakatau dan estimasi aktivitasnya, kata Agung, kondisi ini masih bisa dikelola. Hal yang pasti, banyak pekerjaan rumah menumpuk untuk mewujudkan proyek yang sudah didengungkan sejak 20 tahun silam ini.
Agung menyatakan, kesiapan industri baja dan semen dalam negeri yang merupakan material utama pembentuk jembatan harus sudah mulai dibangun. Kesiapan sumber daya manusia, antisipasi dampak sosial, dan budaya serta berbagai aspek lain pun harus mulai dipikirkan. una
Sumber: http://republika.co.id/koran/42/7205...an_Selat_Sunda
No comments:
Post a Comment