Meminjam uang kepada saudara atau orangtua menjadi pilihan ketika kita memerlukan pinjaman “lunak”, dalam arti cepat, “tidak perlu bunga,” dan cara mengembalikan yang luwes. Pinjaman dengan cara ini tentu saja tidak akan didapat dari lembaga keuangan mana pun. Walaupun di sebelah rumah ada tetangga, tapi “gengsi keluarga” dan rasa malu karena harus membuka aib keluarga lebih berbicara.
“Paling aman dan nyaman untuk yang pertama diutangi adalah orangtua, setelah itu saudara kandung, bisa dari pihak suami maupun istri, kemudian tante atau om. Kalau kemungkinan-kemungkinan itu tak ada, baru ke tetangga atau lembaga keuangan,” papar psikolog Dra Tiwin Herman, MPsi, direktur utama lembaga konsultan psikologi Psiko Utama.
Ketika harus meminjam
Jika Anda mengalami keadaan terdesak, seperti masuk rumah sakit atau harus merenovasi rumah, dan ingin meminjam uang kepada anggota keluarga lain, menurut Tiwin yang pertama harus dipikirkan adalah mau berutang kepada siapa atau saudara yang mana. Boleh dari pihak suami atau istri. Yang jelas, utang harus dilakukan kepada yang dianggap “berlebih”. Setelah itu, baru perhatikan hal-hal berikut:
1. Jadikan kedekatan hubungan sebagai bahan pertimbangan.
2. Meski sesama saudara kandung, kedekatan satu sama lain belum tentu sama. Nah, kalau kebetulan yang berlebih itu adalah saudara yang kita rasa lebih dekat, tentu lebih enak memintanya. Tetapi kalau sebaliknya, perlu strategi khusus. Tentukan dulu uang yang akan dipinjam untuk keperluan apa, berapa, bagaimana, dan kapan membayar utangnya. Setelah itu barulah Anda dan suami menghadap ke saudara yang bersangkutan bersama-sama.
3. Komitmen harus dipegang meski utang ini, misalnya, akan tanpa bunga. Kembalikan uang yang dipinjam sesuai tenggat waktu yang disepakati bersama. Walaupun dengan keluarga sendiri, kita tidak bisa seenaknya meminjam uang. Akan tidak etis jika kita sampaikan hanya sambil lalu atau bahkan lewat SMS.
Berikut adalah etika meminjam uang menurut Tiwin:
* Orangtua sendiri atau mertua
Sebaiknya suami-istri menghadap bersama dan menjelaskan tujuan dan penggunaan uang yang diajukan sebagai utang. Sekalian dibicarakan bagaimana rencana pembayarannya. Perkara setelah itu mengajukan guyonan, “Nanti bayarnya gimana, nih? Bayar penuh atau separuh?” boleh saja. Tetapi yang mengajukan guyonan sebaiknya harus anak sendiri dan bukan yang berposisi sebagai menantu.
* Kakak atau adik yang sudah berumahtangga
Sebaiknya suami-istri menghadap bersama di hadapan pasangan suami-istri kakak atau adik dengan penjelasan yang sama dengan tujuan mengajukan utang. Sangat tidak disarankan untuk mengajukan guyonan sebagaimana kepada orangtua. Bahkan yang berutang harus bertanya perihal bunganya. Apakah nanti kakak atau adik yang menyatakan tidak ada bunga dan yang dibayar cukup 75 persen saja, itu bonus namanya.
Komitmen dan etika
Ketika menjadi pihak yang berutang, itu artinya Anda sudah dipercaya oleh keluarga. Maka komitmen dan etika harus dijaga. “Pinjam uang ketika benar-benar diperlukan dan jangan meminjam uang untuk barang konsumtif,” tegas Tiwin.
Ketika mengembalikan uang, sebaiknya suami-istri menghadap kembali ke pemberi pinjaman. Bila dia kemudian menyatakan uang cukup ditransfer, itu soal lain.
“Bila sampai terjadi tidak tepat waktu dalam membayar, sampaikan alasannya, dan jangan diam tanpa kabar, kemudian berikan komitmen baru. Setelah ada uang, selesaikan kewajiban. Meski dengan saudara, jangan berusaha untuk ‘memanfaatkan’ karena bisa jadi bumerang. Di saat kita benar butuh, bisa jadi saudara kita tak mau lagi membantu,” tambahnya.
Jangan keterusan
Urusan meminjam uang menjadi masalah ketika Anda terus melakukannya. Karena itu berarti ada yang salah dalam pengelolaan keuangan atau gaya hidup keluarga Anda. Di sisi lain, juga akan menjadi masalah kepada saudara yang lain karena berarti Anda menjadi “beban” dan mengganggu mereka.
“Keluarga lebih menjelaskan adanya ikatan darah, tetapi bukan berarti ‘penanggung kehidupan’ dan tempat berutang. Setiap orang diharapkan dapat mandiri yang merupakan salah satu ukuran kedewasaan. Konsep ketika anak yang tua, yang sudah berhasil, kemudian membantu saudaranya yang lebih muda adalah baik. Tetapi ketika sudah berkeluarga, maka pembicaraan masalah keuangan sudah tidak bisa lagi sebebas dulu karena masing-masing sudah memiliki keluarga yang harus diperhatikan,” tutup Tiwin.
oleh
(Midya Desiani/Majalah Sekar)
http://lieagneshendra.blog.friendster.com/?p=2638
No comments:
Post a Comment